Jurnal Madzhab
https://ejournal.uinsgd.ac.id/index.php/madzhab
<p>This journal is an open access journal, published by The Comparative School of Law Program, Faculty of Sharia and Law, State Islamic University of Sunan Gunung Djati, Bandung Indonesia. This journal is published twice a year (June and December) with <a href="https://issn.lipi.go.id/terbit/detail/1565915961">E-ISSN </a><a href="https://issn.lipi.go.id/terbit/detail/1565915961">xxxx-xxxx</a> and P-ISSN<a href="https://issn.lipi.go.id/terbit/detail/1565842585"> xxxx-xxxx. </a>This journal accommodates scientific writings from the academic community, researchers, students, and practices in Islamic law and law that have good values and high rationality. The focus of study in this journal is on the comparison of Islamic law, both in the study of classical jurisprudence and contemporary, including also the study of the 4 products of Islamic law: jurisprudence <em>(fiqh),</em> legal opinions <em>(fatwa),</em> legislation <em>(qanun),</em> and court decisions <em>(qadha).</em></p>Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandungen-USJurnal MadzhabHUKUM QADHA SHALAT FARDHU MENURUT IMAM AL-QARAFI DAN IBN HAZM
https://ejournal.uinsgd.ac.id/index.php/madzhab/article/view/736
<p><strong>Abstrak: </strong>Penelitian ini bertujuan untuk memahami, pendapat Imam Al-Qarafi tentang hukum qadha shalat fardhu, pendapat Ibn Hazm tentang hukum qadha shalat fardhu, dan menganalisis persamaan dan perbedaan antara pendapat Imam Al-Qarafi dan Ibn Hazm. Peneliti menggunakan pendekatan deskriptif komparatif, yang berarti mengambil dua perspektif atau lebih untuk menganalisis dan menjelaskan perbandingan. Sumber primer penelitian ini adalah Kitab Al-Muhalla dan Kitab Adz-Dzakhirah karya Imam Al-qarafi dan Imam Ibn Hazm; sumber sekundernya adalah berbagai kitab, buku, arikel, jurnal, dan sumber lainnya yang dibahas dalam penelitian ini. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui studi kepustakaan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa Imam Al-qarafi dan Ibn Hazm memiliki pandangan berbeda mengenai hukum qadha shalat fardhu, menurut Imam Al-qarafi qadha shalat hukumnya wajib bagi yang meninggalkannya, namun Imam Al-qarafi juga mengutip perkataan dari Ibnu Habib an Ibn Hanbal bahwa jika shalat ditinggalkan secara sengaja maka tidak ada qadha bagi orang yang meninggalkan shalat itu, karena orang tersebut dianggap telah murtad, maka hendaknya orang tersebut melakukan taubat, sedangkan Ibn Hazm berpendapat bahwa tidak ada qadha shalat bagi orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, maka dianjurkan agar orang yang meninggalkan shalat itu memohon ampunan dari Allah SWT dan memperbanyak shalat sunnah. Persamaan kedua pendapat tersebut terletak pada sama-sama menggunakan bahan hukum yang bersumber dari teks Al-Qur’an, dan perbedaannya terletak pada metode analisis hukum serta hasil pendapatnya.</p> <p><strong>Abstract</strong>: This research aims to understand Imam Al-Qarafi's opinion on the ruling of making up missed obligatory prayers (qadha shalat fardhu), Ibn Hazm's opinion on the ruling of making up missed obligatory prayers, and analyze the similarities and differences between Imam Al-Qarafi and Ibn Hazm's viewpoints. The researcher adopts a descriptive comparative approach, which involves analyzing and explaining comparisons from two or more perspectives. The primary sources for this research are Al-Muhalla and Adz-Dzakhirah by Imam Al-Qarafi and Imam Ibn Hazm; secondary sources include various books, articles, journals, and other relevant literature. Data collection for this study is conducted through a literature review. The conclusion of this research indicates that Imam Al-Qarafi and Ibn Hazm hold differing views on the ruling of making up missed obligatory prayers. According to Imam Al-Qarafi, making up missed prayers is obligatory for those who have missed them. However, Imam Al-Qarafi also cites statements from Ibn Habib and Ibn Hanbal that intentional abandonment of prayers does not require making up the missed prayers as the individual is considered apostate, therefore, repentance is necessary. On the other hand, Ibn Hazm argues that there is no obligation to make up missed prayers intentionally abandoned. Instead, it is recommended for such individuals to seek forgiveness from Allah SWT and increase voluntary prayers. The common ground between the two opinions lies in both relying on legal sources from the Quran, while their differences lie in the legal analysis methods and the outcomes of their opinions.</p>Aida Yulyanti
Copyright (c) 2024 Aida Yulyanti
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-06-202024-06-201111210.15575/madzhab.v1i1.736HUKUM MENDENGARKAN MUSIK DAN NYANYIAN MENURUT MUHAMMAD AL-GHAZALI DAN ABD AL-AZIZ BIN BAZ
https://ejournal.uinsgd.ac.id/index.php/madzhab/article/view/742
<p>Tujuan penelitian ini adalah: pertama, untuk mengetahui pendapat Muhammad Al-Ghazali dan Abd Al-Aziz Bin Baz tentang kaidah mendengarkan musik dan nyanyian. Kedua, untuk mengetahui dalil dan kaidah yang dipakai Muhammad Al-Ghazali dan Abd Al-Aziz Bin Baz dalam menentukan hukum mendengarkan musik dan nyanyian, dan ketiga untuk mengetahui pendapat yang lebih kuat di antara pendapat Muhammad Al-Ghazali dan Abd Al-Aziz Bin Baz. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan komparatif. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, Muhammad al-Ghazali mengatakan bahwa musik dan nyanyian itu ibarat kata-kata biasa, yang baik disebut baik dan yang buruk disebut buruk. Sementara itu, Abd Al-Aziz Bin Baz mengatakan bahwa mendengarkan musik dan nyanyian adalah dosa (haram). Kedua, Muhammad Al-Ghazali menggunakan dalil Al -Qur'an Surat Lukman ayat 6, diperkuat dengan surat Al-Baqarah ayat 26, dan surat Al-An'am ayat 119, sedangkan untuk dalil hadisnya ia memiliki perbedaan pendapat dan mengkritik sebuah hadis yang lazim digunakan para ulama dalam melarang lagu dan nyanyian. Akan tetapi, Abd Al-Aziz Bin Baz menggunakan dalil surat Luqman ayat 6 dan hadis Bukhari no 5590. Ketiga, pendapat Muhammad Al-Ghazali lebih kuat dan tepat untuk digunakan dalam kehidupan modern.</p>Rahmat JulianDadang SyaripudinMoh. Mahbub
Copyright (c) 2024 Rahmat Julian, Dadang Syaripudin, Moh. Mahbub
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-06-202024-06-2011132410.15575/madzhab.v1i1.742HUKUM MEROKOK MENURUT FATWA MAJELIS TARJIH DAN TAJDID MUHAMMADIYAH NOMOR 6 TAHUN 2010 DAN DEWAN HISBAH PERSIS NOMOR 21 TAHUN 1987
https://ejournal.uinsgd.ac.id/index.php/madzhab/article/view/739
<p>Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Menjelaskan latar belakang fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Nomor 6 Tahun 2010 dan Dewan Hisbah Persis Nomor 21 Tahun 1987; (2) Mengidentifikasi dasar hukum dari fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Nomor 6 Tahun 2010 dan Dewan Hisbah Persis Nomor 21 Tahun 1987; (3) Menganalisis pertimbangan serta dampak implikasi dari fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Nomor 6 Tahun 2010 dan Dewan Hisbah Persis Nomor 21 Tahun 1987. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan perbandingan (komparatif) dan metode analisis deskriptif normatif. Sumber data yang digunakan adalah sumber primer dan sekunder, dengan penelitian menggunakan data kualitatif dan metode pengumpulan data melalui penelitian pustaka. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Kedua fatwa tersebut dikeluarkan sebagai tanggapan atas pertanyaan dari anggota jama'ah, untuk memberikan kejelasan hukum kepada mereka; (2) Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menyatakan bahwa rokok haram berdasarkan nash atau dalil tertentu, sementara Dewan Hisbah Persis tidak menemukan dalil yang secara spesifik menyatakan bahwa rokok haram; (3) Pertimbangan utama dari kedua fatwa tersebut adalah untuk menciptakan kehidupan yang sehat dan lingkungan yang sehat bagi masyarakat, namun dampaknya tidak begitu terlihat jelas karena sifat fatwa yang tidak mengikat.</p> <p>The aim of this research is to: (1) Explain the background of the fatwas issued by the Majelis Tarjih and Tajdid Muhammadiyah Number 6 of 2010 and the Dewan Hisbah Persis Number 21 of 1987; (2) Identify the legal basis of the fatwas issued by the Majelis Tarjih and Tajdid Muhammadiyah Number 6 of 2010 and the Dewan Hisbah Persis Number 21 of 1987; (3) Analyze the considerations and implications of the fatwas issued by the Majelis Tarjih and Tajdid Muhammadiyah Number 6 of 2010 and the Dewan Hisbah Persis Number 21 of 1987. This research uses a comparative approach and normative descriptive analysis method. Primary and secondary sources of data are utilized, with qualitative data and data collection methods through literature research. The research findings indicate that: (1) Both fatwas were issued in response to inquiries from congregation members, aiming to provide legal clarity to them; (2) Majelis Tarjih and Tajdid Muhammadiyah stated that smoking is forbidden based on specific texts or references, while Dewan Hisbah Persis did not find specific evidence declaring smoking as forbidden; (3) The main consideration of both fatwas is to promote a healthy lifestyle and environment for the community, although the impact is not clearly evident due to the non-binding nature of fatwas.</p>Jimmy Wijaya
Copyright (c) 2024 Jimmy Wijaya
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-06-202024-06-2011254410.15575/madzhab.v1i1.739KEDUDUKAN HUKUM MENGONSUMSI KOPI LUWAK MENURUT FATWA MUI NO. 07/2010 DAN FATWA MUFTI KERAJAAN MALAYSIA KE-142/2016
https://ejournal.uinsgd.ac.id/index.php/madzhab/article/view/738
<p><strong>Abstrak: </strong>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi alasan lembaga MUI dan Mufti kerajaan Malaysia dalam memutuskan suatu hukum dalam fatwanya. Selain itu, peneliti juga ingin mengetahui sejauh mana pengaruh dan akibat yang akan terjadi dari terbitnya fatwa kopi luwak terhadap masyarakat yang berkaitan langsung dengan kopi luwak, seperti yang mengonsumsinya, menjual dan bahkan memproduksinya. Metode penelitian yang digunakan dalam pembahasan teori ini adalah metode studi deskriptif komparatif, yaitu suatu bentuk penelitian dengan memaparkan perbandingan antara dua pendapat atau golongan. Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini yaitu kajian pustaka dengan metode konten analisis. Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, faktor yang melatarbelakangi terbitnya fatwa MUI dan Mufti Kerajaan Malaysia adalah karena atas permintaan dan situasi kondisi yang terjadi di negara-Nya. Bahan hukum yang dijadikan rujukan dalam berfatwa bersumber pada ayat Al-Quran, hadis dan kaidah fiqih. Adapun mekanisme dalam pembuatan fatwa kopi luwak dilakukan dengan turut mempertimbangkan kemaslahatan umat di masing-masing Negara. Implikasi dan konsekuensi yang terjadi di Indonesia dan Malaysia memiliki kesamaan, dimana terdapat hal positif dan negatif yang terjadi baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan.</p> <p><strong>Kata-kata Kunci</strong>: <em>Fatwa, Kopi Luwak, Majelis Ulama Indonesia, Mufti Kerajaan Malaysia</em></p> <p><strong>Abstract</strong>: This study aims to identify the factors that influence the decisions of the Indonesian Ulema Council (MUI) and the Mufti of the Malaysian royal court in issuing fatwas. Furthermore, the researcher seeks to understand the extent of influence and consequences of the fatwa on kopi luwak (civet coffee) directly related to consumers, sellers, and producers. The research methodology employed is a descriptive comparative study, which involves comparing two perspectives or groups. Data collection for this study is conducted through a literature review using content analysis method. The findings of this study reveal that, the issuance of fatwas by the MUI and the Mufti of the Malaysian royal court is influenced by requests and prevailing circumstances in their respective countries. Legal references for issuing fatwas are derived from the Quranic verses, Hadith, and principles of Islamic jurisprudence. The process of issuing the fatwa on kopi luwak considers the welfare of the community in each country. The implications and consequences in Indonesia and Malaysia share similarities, with both positive and negative effects observed in the economic, social, and environmental aspects.</p> <p><strong>Keywords</strong>:<em> Fatwa, Kopi Luwak, Indonesian Ulema Council, Mufti of the Malaysian royal court</em></p>Dini Maryati
Copyright (c) 2024 Dini Maryati
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-06-202024-06-2011455810.15575/madzhab.v1i1.738PENENTUAN MASA IDDAH WANITA HAMIL KARENA ZINA MENURUT MUHYIDDIN AL-NAWAWI DAN IBNU QUDDAMAH
https://ejournal.uinsgd.ac.id/index.php/madzhab/article/view/737
<p><strong>Abstrak: </strong>Tujuan peneliti dalam permasalahan ini yaitu untuk mengetahui kerangka dan metodologi fikih Muhyiddin al-Nawawi dan Ibnu Quddamah, kemudian dapat mengetahui dalil hukum yang digunakan kedua imam tersebut, dan mampu mengaplikasikan dampak dan implikasi terhadap ijtihad kedua imam mengenai idahnya wanita hamil karena zina. Metode yang dilakukan untuk mengkaji permasalahan ini yaitu dengan cara pengumpulan data dari beberapa kitab, buku, jurnal, dan skripsi. metode ini dinamakan <em>study research</em> atau <em>library research</em>, setelah pengumpulan data selanjutnya penulis kaji dan teliti secara komparatif yang membandingkan antara pendapat imam Muhyiddin al-Nawawi dengan pendapat imam Ibnu Quddamah. Dari hasil penelitian, penulis menemukan metode istinbath yang berbeda. Imam Muhyiddin al-Nawawi menggunakan ilat dengan menetapkan tidak adanya idah yaitu wanita zina menurutnya tidak memiliki kehormatan, dalam hal ini Muhyiddin al-Nawawi menggunakan metode istinbath dengan alquran dan sunah.. Sedangkan Ibnu Quddamah menggunakan ilat dengan menetapkan idah bagi wanita zina karena zina akan mengakibatkan terjadinya aktifitas rahim, metode istinbath yang dilakukan yaitu berdasarkan alquran, hadis, dan qiyas.</p> <p> </p> <p><strong>Abstra</strong><strong>ct</strong><strong>: </strong>The aim of this research is to explore the framework and methodology of Islamic jurisprudence by Muhyiddin al-Nawawi and Ibn Qudamah, understand the legal reasoning used by both scholars, and apply the implications and impacts of their ijtihad regarding the waiting period (iddah) for a pregnant woman due to adultery. The method used to examine this issue involves collecting data from various books, journals, and theses, known as library research or study research. After data collection, a comparative analysis is conducted between the opinions of Imam Muhyiddin al-Nawawi and Imam Ibn Qudamah. The research findings reveal different methods of deriving legal rulings. Imam Muhyiddin al-Nawawi argues for the absence of iddah for a woman involved in adultery, as he believes such a woman lacks honor, using Quran and Sunnah in his legal reasoning. On the other hand, Ibn Qudamah argues for the requirement of iddah for an adulterous woman due to the physiological activities of the womb, basing his legal reasoning on the Quran, Hadith, and analogy.</p>Wahidah NurulaeniFahmi Hasan Nugroho
Copyright (c) 2024 Wahidah Nurulaeni
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2023-06-202023-06-2011597210.15575/madzhab.v1i1.737